Awal Maret 2010
Bulan ketiga telah masuk; kepalaku masih terfokus pada Klanduhan, kali yang memberiku begitu banyak kenangan indah semasa kanak-kanak. Ah, rencana mengajukan proposal sudah disusun dan teman-teman telah memberikan respon terbaik mereka. Bahkan mengagendakan penghijauan daerah aliran Klanduhan di kampungku sebagai program utama Kadang Anem. Senang sekali mendapat sambutan hangat semacam itu.
Di balik layar, aku pun bersiap; memburu dan menyimpan semua bahan proposal serta mencicil untuk menuliskannya di komputer rumah. Beberapa pustaka telah kudapatkan lewat browsing internet. Tentang pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), tentang pentingnya penyelamatan ekosistem sungai, juga menyediakan daerah hijau tadah hujan di sekitar kampungku.
“Tunggulah sebentar lagi, Klanduhan..” batinku.
Namun… Apakah itu saja jalan yang bisa kutempuh? Bagaimana jika suatu hari nanti proposal itu tidak berhasil dikabulkan oleh Hortimart? Aku tahu benar jalan pikiran teman-teman. Banyak yang hanya ikut-ikutan mengatakan SETUJU tanpa memberi respon lebih. Dari beberapa program kerja yang telah lalu, aku bisa menilai kinerja yang masih sangat lamban. Koreksi ini pun berlaku pula bagiku sebagai anggota pengurus di awal lahirnya Kadang Anem.
Lalu? Saatnya bersiap membangun siasat andaikata kelambanan terjadi pula pada program ini. Kalau pengajuan proposal ini menjadi plan A, maka semestinya harus pula kusiapkan plan B. Hmm.. apa akal? Biarlah aku berpikir…
***
Sabtu, 20 Maret 2010.
Setelah beberapa kali berbincang hingga sempat pula bermimpi dolan ke rumah seorang teman baik di Manisrenggo, Klaten; akhirnya semua mimpiku terlaksana hari itu. Pagi yang cerah menyapaku. Ya, aku akan memulai petualangan mencari sesuatu yang berharga: kado istimewa!
Kado istimewa? Hmm.. maksudku plan B. Sebuah ide yang singgah kembali dalam lipatan otakku setelah sekian masa. Ya, penuturan seseorang yang pernah kutemui beberapa tahun silam di Laboratorium Hayati Pandak, Bantul. Pak Nangsir, beliau adalah salah satu pegawai yang berdinas di Balai Benih Utama Wonocatur, Yogyakarta.
***
Ok, sedikit cerita tentang pertemuan pertamaku dengan beliau.
Kala itu aku dan beberapa teman mengantar tim mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin yang sedang mengadakan studi banding ke Jurusan HPT UGM. Agenda mereka selain berkeliling kampus juga beberapa tujuan lain seperti laboratorium hayati dan tempat wisata. Iya, mumpung ke Jogja, sekalian muter menikmati pengalaman baru.
Nah, hari kedua agenda mereka adalah berkeliling kota Jogja dan sekitarnya. Lab hayati salah satu tujuan kami. Begitu kami tiba di sana, Pak Paryoto dan Pak Nangsir sudah menyambut. Acara penyambutan pun disiapkan, ya semacam talkshow singkat bagaimana proses suatu agens hayati, terutama jamur entomopatogen, dikembangbiakkan hingga akhirnya dikemas dan didistribusikan kepada konsumen. Bagian akhirnya yang paling berkesan bagiku. Pak Nangsir memberikan kenang-kenangan beberapa polibag bibit tanaman gayam.
Gayam? Ya, nama ilmiahnya Inocarpus sp. Dari pemaparan singkat Pak Nangsir-lah akhirnya aku mengerti bahwa tanaman inilah yang telah lama menjadi top icon tanaman penyelamat DAS di Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka, pada kesempatan itu pula dengan suka cita beliau memberikan kenang-kenangan bibit gayam agar juga menjadi bagian penyelamat DAS di Banjarmasin.
***
Memori itu seolah berputar kembali. Hei, mengapa tak kucari saja biji-biji gayam untuk Klanduhan? Tapi, mau ke mana mencarinya? Gayam yang tumbuh di Klanduhan hanya sedikit, sementara bijinya pun tak cukup banyak untuk dibibitkan. Hmm, aku berpikir lagi.. Lagi dan lagi.. Hingga akhirnya, seorang teman yang juga asisten riset Pak Tyo, Dwi Suci Rahayu (akrab kupanggil Mbak Suci), bercerita kepadaku bahwa di kebun belakang rumahnya banyak sekali tumbuh pohon gayam.
“AHAA..!!”
Aku bersorak dalam hati.. Girang sekali rasanya bisa menemukan tempat yang telah lama kucari. Sekalian dolan ke rumah Mbak Suci, sebagai balasan kunjungannya yang kebetulan pada 10 November 2007 karena ia kemalaman lepas kami pulang praktikum lapangan Entomologi Dasar di Hutan Wanagama, Gunung Kidul. Asyiiik! 😀
Dan, Sabtu pagi itulah aku memulai rencanaku. Oya, aku tak ketinggalan mengajak serta dua orang temanku, Maylia Rachmawati dan Vira Kusuma Dewi. May, dia adik tingkatku, angkatan 2006; sementara Mbak Vira adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran yang saat ini sedang menempuh studi S2 di HPT UGM. Sebelum menuju rumah Mbak Suci, kami janjian bertemu di depan jalan menuju rumahku. Inocarpus here I come!
***
Untuk mencapai rumah Mbak Suci di Tijayan, Manisrenggo butuh waktu sekitar 30 menit dari rumah. Berbekal denah sederhana yang dibuatkan untukku, Ezy pun kulajukan dengan kecepatan sedang. Dua motor kami berjalan beriring menyusuri jalanan tengah desa di sekitar kaki Merapi. Melewati kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Cangkringan, hingga akhirnya tiba di Manisrenggo. Kuhirup dalam nafas… Hmmm, hawa segar sepagi itu mana mungkin kulewatkan? Aku selalu suka pada hangatnya mentari pagi, hijaunya hamparan sawah dan pepohonan, serta riuhnya kicau burung-burung. Subhanallaah.. Terima kasih Rabb, aku masih diperkenankan merasakan semua ini.. 🙂
Perjalanan makin berliku ketika harus masuk dari jalan utama. Hei, ini benar-benar desa asli. Jalan tengah di antara hamparan sawah boleh saja beraspal mulus, tapi suasananya tak bisa dicuri. Seperti merasakan pulang ke rumah. Hmm, nyaman.. 😀
Tiga puluh menit berlalu, tibalah kami bertiga di depan sebuah rumah bercat hijau..asri sekali. Tak berapa lama si empunya rumah menyambut kami. Tapi tanpa basa-basi segera saja kuberondong dengan pertanyaan.. Kebiasaan, hehe 🙂
“Mbak, di sebelah mana ta? Kok aku ga lihat sedikit pun pohonnya?” tanyaku antusias.
“Di halaman belakang, Jup. Bentar ya, dak ambilkan sandal jepit.” sahut Mbak Suci sambil berlalu pergi mengambil sandal untukku.
“OK, Bos!” jawabku, senang.
Tak ada 5 menit, kami pun diajak keluar, mengitari halaman rumah lalu menjelajah ke belakang. Kedua bola mataku menyusur tiap detil tanaman yang ada. Hm.. Terlihat begitu rimbun dan hijau oleh berbagai pepohonan besar. Melinjo, sawo, rambutan, duku.. Kami pun turun ke daerah yang lebih rendah. Ini dia tebing sungai yang pernah diceritakan kepadaku. Tampaklah sebuah kolam yang sudah “tak bernyawa” (baca: sudah tidak digunakan lagi).
“Itu kolam buat rendam kayu ya, Mbak?” tanyaku sok tahu.
“Bukan.. Dulu kolam lele, Jup. Sekarang udah ndak dipakai.. sejak tanah bagian dekat pondasi sana ambrol kena gempa 3 tahun lalu.” jawab Mbak Suci.
“Ooh..” Aku melongo, rupanya tebakanku meleset. Malu yee! 😛
Lainnya?! Tentu pepohonan gayam nan rindang. Lalu? Wow, SURPRISE.. Sebuah kali kecil menyambut kedatangan kami berempat. Hmm, jadi ingat Klanduhan. Ayolah bergegas, mumpung masih pagi! Apa? Tentu saja memunguti biji-biji gayam. Yang masih utuh atau pun yang sudah bertunas, semua dikumpulkan. Bak bocah petualang kami menyusuri pinggiran sungai. Saking asyiknya, tak lagi ingat kalau usia sudah dua puluhan 😛 Gayam right here, gayam right there.. Ow, it’s a wonderful thing I ever seen. 🙂
***

Biji-biji yang telah terkumpul lalu dimasukkan bersama ke dalam tas plastik.. Eh, tapi… lho, mau ke mana tu Mbak Suci? Kulihat ia bergegas meninggalkanku menuju rumah tanpa bilang apa-apa.
“Mbak, mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Bentar.. ambil polibag sekalian Jup. Kamu kan pasti butuh buat nyemai biji-biji itu” jawab Mbak Suci.
Polibag? Jadilah kuikuti ke mana langkah Mbak Suci. Oh, rupanya polibag sisa penelitian S2-nya dulu masih tersimpan di sudut belakang rumah.
“Ukuran berapa nih, Mbak?” tanyaku.
“Hmm, itu bisa muat 9-10 kg tanah. Ga usah penuh-penuh ngisinya kalau cuma buat nyemai..” jawab Mbak Suci, “yuk, dibawa sekalian dicuci di kali situ.”
“Ayuuk.. deh!” sahutku sambil memasukkan lembar demi lembar polibag bekas ke dalam ember.
Selesai mengepak, kami berdua turun, bergabung dengan May dan Mbak Vira yang rupanya sudah menemukan keasyikan mereka: main air! Hihi, mengulang kesenangan masa kecil? Asyiik.. aku pun ikut serta.
“Lebih enak lagi kalau bantu aku nyuci polibag.. Nih, kubagi ya, hehe..” kataku sembari menurunkan muatan dalam ember dan kubagi-bagi.
“Hehehe.. Sini..sini..” sahut yang lain hampir berbarengan.
Hmm, beginilah cara asyik menikmati segar dan dinginnya air dari lereng Merapi. Biji gayamnya dapat, polibagnya juga. Sungguh akhir pekan yang sempurna! Kapan lagi ya bisa dolan ke Tijayan berburu Inocarpus untuk Klanduhan?
-Bulaksumur, 19 Juli 2010-
Catatan: sumber gambar http://cookislands.bishopmuseum.org/
pertamaxxx 🙂
hihihi…
Selamat yax.. komentarmu yang pertamax kubalas hari ini.. 😀
makaaaciiih embaaak… 🙂 hehe
gmn kabar jogja?
lama g posting si??
Sama-sama, Sa 🙂
Jogja baik, sedikit lebih panas.. maklum udah hampir kemarau. Bali gimana? Masih di sana kan? Atau malah udah pulkam nih.. 😀
mbak phie manggilnya jgn tunsa, gak liat profilku ya…
hehe 🙂
bali sehat, aman, nyaman, tentram, dan mempesona, hehe
Lihat koq, hehe.. :), nunggu diprotes saja Ri
Maaf ya, sekarang dak panggil Ari wis 😀
hehe…gpp ndeng, terserah mbak…
boleh main k jogja dnk kpn? ada apa aja dsana mbak?
Kapan mau ke Jogja? Di sini.. ya banyak ta, obyek wisata. Namanya juga kota budaya. Sebenarnya mau jalan bareng temen2 kampus kalau akhir pekan. Suntuk sama kerjaan yang numpuk 🙂 cuma belum dapat waktu yang pas.
Mau ke mana? Kaliurang? Ada Merapi, pemandian, gardu pandang, goa Jepang, wisata alam, juga penganan khas sana: jadah-tempe. Kaliadhem? Ke tempat Mbah Marijan? 🙂
Atau ke museum? Monjali, Merapi, Vredeberg, Batik, Sonobudoyo, Affandi, mblader pokok e! 😀
Pantai? Bantul, Gunungkidul, & Kulonprogo jagoannya.. Ditunggu.. kapan? -nantang mode on- hihi..pizz ^^V
hehe, semangat amat promosinya, mending jadi duta pariwisata aja mbak..
nanti aja kpn2, aku pnya tante djogja tp blm tau tempatnya, hehe, soalnya gak pernah berkunjung ksana
hehehe… btw orang jogja nich….
Kak..
Salam kenal ya..?
Saya pendatang baru ni..
Makasih atas artikelnya ya..?
Boleh tukeran Link Ga…?
Mampir ke Blog sederhana saya ya..? 😉
Salam kenal dari Jogja 🙂 Sama, kita pemula.. tapi tetaplah belajar menjadi yang lebih baik..
Tuker link? Ok, dengan senang hati.. 😀
Inocarpus?? tak kirain sejenis dinosaurus hehe….ternyata, 🙂
mbak, klo di tempatku dulu biji gayam tuh enak direbus buat camilan…..
tp sekarang udah punah ditebangi orang.
Hehe 🙂 tadinya awam juga Puch sama si Inocarpus, sapa seh?
Ada hubungan kerabat apa ya sama pilot Garuda jaman kasusnya Munir itu lho
[yeee.. itu mah Polycarpus.. :D]
Iya, makanya karena di tempatku juga sudah sangat terbatas sempat bingung juga mau nyari di mana.
Eh, namanya sudah niat..jalannya, insya Allah bakal dimudahkan.
klanduhan itu apa semacam sich….. ?? bingung.. hehe
Klanduhan adalah nama sebuah kali, iya saya orang Jogja 🙂
Inocarpus ataupun gayam kok masih asing juga di telingaku ya Phie 😀
hmm, sepertinya aku perlu menyisipkan foto-fotonya ya..
Ok, ‘Ne.. nanti kuselipkan deh 🙂
mbak, updatenya kok lama…
Iya ni, Ri.. Lagi proses, soale banyak kerjaan di redaksi. Minggu ini bener-bener underpressure, hehe 🙂 Makanya, belum sempat ng’update tulisan lagi.
Sabar ya, innallaaha ma’asshobiriin.. 😀
hehe…mbak phie kerja dimana ci…redaksi apa?
Hmm, udah baca “tentang phie” belum sih? Jawabannya ada di situ 🙂
Kerja bantu dosen & jurnal ilmiah di Jurusan Hama & Penyakit Tumbuhan Fak Pertanian UGM. Begitu ceritanya, Ri..
Kalau mau tahu siapa yang dak bantu.. kunjungi saja blog beliau. Ada di “pintu sahabat”, nama blognya “ilmu serangga” (hehe, promo mode on :))
maaf mbak, ngebeki comment, hehe
ooo, asdos rupanya…wah seneng ya…jadi pingin, tapi pasti nggak bisa, xixixi…
Gapapa, malahan e akeh sing koment 😀
bolehlah dibilang begitu, have fun saja meski setiap hal ga selalu dapat senangnya, susah juga iya.. jadi, ya dinikmati saja.
Hmm, lha koq “pasti ga bisa” segala? Memangnya kelihatan sulit kah?
penelitian ttg alam, saya pengen tuh, lum pernah 🙂
Nah, kan jadi tertarik.. kapan-kapan dicoba donk 🙂