Renungan Jalan Agro: Mom Please..

Hari telah menjelang petang saat aku tiba di sebuah traffic light. Jalan Agro, ya jalan yang melintang di sebelah utara Fakultas Kehutanan UGM. Cerahnya matahari masih menyisakan semburat jingga di ufuk barat, Subhanallaah, sungguh cantiknya. Sekawanan burung penghuni hutan kecil di dekat jalan itu pun terlihat berkeliling mencari tempat yang tepat untuk mendarat. Ah, mereka makhluk-makhluk cantik yang selalu membuatku merindu suasana senja yang penuh romansa jingga, hmm..

Aku masih saja keasyikkan, setengah terhanyut menikmati pemandangan saat seorang anak lelaki kecil mendekatiku. Seketika arah pandanganku beralih kepadanya. Aku hanya bisa diam. Tangan mungilnya menyodorkan sebuah gelas air mineral bekas mengisyaratkan meminta sedekah. Dan, sekali lagi, maaf, aku hanya mampu terdiam, ragu. Tanpa sadar kepalaku menggeleng perlahan.

“Maafkanlah, Dik..” kataku dalam hati.

Sejenak kemudian ia berlari menuju ke arah seorang perempuan dewasa. Itu ibundanya kah? Sekilas lalu sepertinya memang terlihat perempuan paruh baya itu mengelus perlahan si anak lelaki. Hmm.. aku menggumam pelan di sebalik masker biruku sembari menghela nafas panjang, “Mom, please..

Dan, ketika lampu beralih menjadi hijau, aku masih menyisakan tanya tak berkesudahan tentang mereka sepanjang perjalanan pulang. Hmm.. mengapa?
***

Pemandangan seperti ini sudah jamak kulihat di persimpangan jalan mana pun di kota Jogja. Ada saja orang-orang yang mangkal, memanfaatkan barang bekas, lap, atau apa saja yang bisa digunakan sebagai sarana meminta belas kasihan. Apa ini yang disebut berprofesi? Meminta-minta dianggap sebagai profesi? Masya Allah.. dan yang membuatku tidak habis berpikir adalah para ibu membawa serta anak-anak mereka untuk bersama-sama turun ke jalan, meminta-minta. Ini dia yang seringkali mampir menggelitik hati dan pikiranku. Apa yang sebenarnya ada dalam benak mereka? Bukankah mereka orang terdekat yang semestinya memberikan teladan yang baik bagi proses tumbuh kembang buah hati, agen penerus kehidupan mereka kelak?

“Mom, please..” itulah istilah yang kugunakan untuk mengungkapkan keherananku. Bukankah mereka semestinya ada dan belajar di sekolah, bukan bergelut dengan kerasnya dunia jalanan?

“..Mom, tidakkah ada cara lain yang lebih layak untuk membuat buah hatimu mengerti bahwa hidup ini adalah sebuah mata tombak yang semestinya senantiasa diasah agar selalu tajam, bukan dilemahkan seperti yang kau teladankan itu? Ok, lepas dari itu tidak haram memang meminta-minta tapi alangkah lebih baiknya bila berupaya lebih keras. Biarkanlah anak-anakmu mengerti bahwa kehidupan ini butuh diperjuangkan dan diupayakan, bukan hanya sekedar diperoleh dengan belas kasihan orang lain…

So, Mom please.. yang mereka perlukan adalah teladanmu. Contoh yang baik sebagaimana konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani…” batinku.

Sepanjang perjalanan masih saja terpikir olehku, hingga akhirnya tersadar pada satu hal.

“…Hmm, tapi bagaimana mungkin mereka mau mengajarkan konsep itu bila keadaan mereka serba terbatas? Maukah mereka berhenti beraktivitas meminta-minta, sementara di lain sisi mereka telanjur keenakan mapan di simpang jalan? Menengadahkan tangan jauh lebih mudah daripada berdagang koran, menjadi buruh cuci, atau juru parkir.. ”

Hmm, aku masih saja menggumam perlahan ketika menyaksikan mereka yang telah teramat nyaman menghuni simpang Jalan Agro. Bagaimana caranya agar setidaknya mereka, para ibu itu, mau mengerti? Hmm..

-dituliskan di Karang, akhir Agustus 2010-

7 thoughts on “Renungan Jalan Agro: Mom Please..

  1. negara ini terlihat makmur apa tidak bisa di lihat di jalan jalan,,,ketika mereka tidak bisa bertahan hidup pemerintah ke mana???? bukankah itu tanggung jawab pemerintah, menyediakan pendidikan gratis kpn terwujud??

    maaf aq hanya menyayangkan sikap pemerintah yang tidak bisa berbuat banyak…

  2. setiap hari saya lewat perempatan Jakal itu mbak,,
    klo yg anak-anak kecil sih aku masih maklum…

    tp klo yg pemuda2 sehat itu, yang hanya berbekal kain kecil buat dikit2 ngelab bagian depan motor

    trus mintanya maksa lagi,, ah….gak banget deh.

  3. Hmmm, atau mungkin itulah gambaran kita yah, bangsa yang tak pernah sadar bahwa mereka adalah pekerja kelas bawah, miskin, tukang minta-minta bantuan, tak punya nurani, tak punya malu, minta belas kasihan, minta dimaklumi, minta ini, minta itu….. minta ampunnn! Pantas, bangsa ini tak pernah beranjak menjadi bangsa yang kuat, sentosa, sejahtera, dan mandiri. Nice post!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *