Dua hal yang bisa dilakukan untuk berdamai dengan hati adalah menerima dan mengakui kekurangan diri. — Phie
Akhir tahun 2012
Dokter: “Coba saya lihat. Hmm … Mbak kontak terus-menerus dengan bahan kimia?”
Saya: “Tidak. Dulu pernah beberapa tahun jadi koasst praktikum dan membantu penelitian di lab, tapi sejak 2010 saya sudah tidak bekerja di laboratorium, Dok. Saya bekerja di redaksi, sekarang kontak intens dengan keyboard komputer.”
Dokter: “Ini alergi. Reaksi seperti ini bisa juga timbul karena stress. Atau, Mbak sedang stress, ya?”
Saya: (tersenyum) Mungkin ….
Kurang lebih seperti itulah penggalan convo saya dengan seorang dokter muda yang memeriksa saya hampir dua tahun lalu di Puskesmas Ngaglik I. Kalau dilihat dari penampilan, usianya sedikit di bawah saya. Ah, saya hanya menebak. Bisa jadi itu karena smartphone berbalut garskin kuning terang dan sepatu kets-nya. Benar, dokter ini nyentrik. Saya suka. 😆
Dengan cekatan si dokter muda menuliskan resep. Saya menunggu sembari mengutak-atik jemari. Hmm, tidak ada indikasi yang terlalu mengkhawatirkan mungkin, tapi mengelupasnya jemari kedua tangan secara terus menerus hingga terjadi kerutan-kerutan, saya pikir ada kaitannya dengan kondisi kesehatan saya. Maka, saya pun datang ke puskesmas.
Usai resep itu saya bawa ke bagian farmasi; saya ngeh, satu di antara obat itu adalah obat alergi: CTM.
***
Februari 2013
Beberapa bulan berselang, kondisi jemari tangan tak kunjung membaik. Bahkan akan sangat keriput, kering, dan mengelupas seusai saya mencuci. Sepertinya saya memang harus rehat kontak dengan deterjen. Di sisi lain, kondisi lutut kanan Ibu yang sering tidak stabil jika digunakan untuk duduk berlama-lama, menjadi alasan tambahan. Arthritis vs mengucek pakaian sambil duduk? Hmm, membiarkan mereka berdua membuat kesepakatan untuk ‘berduel’? It’s a big NO!
Tidak ada pilihan lain, mumpung ada rejeki saya hadiahkan Ibu sebuah mesin cuci. Setidaknya, beliau tidak perlu duduk mengucek cucian lagi. Bagaimana dengan aktivitas fisik beliau? Biar saja dengan cara lain. Berkebun sudah cukup membuat beliau sibuk. 😉
Well, mesin cuci memang membikin saya jarang kontak dengan deterjen, tetapi itu tak lantas membuat kondisi jemari saya membaik. Karena obat dari puskesmas tidak manjur, saya beralih ke dokter praktik langganan kami: dr. Titie Endarty. Pertama kali datang periksa, saya diberi obat alergi (diminum). Beliau juga menyarankan agar saya secara rutin mengoleskan baby oil, terutama setelah mencuci tangan dengan sabun dan saat menjelang tidur. Untungnya saya memang sedia baby oil di rumah. Demi amannya, saya pun berhenti memakai hand body lotion. Yang saya pakai hanya baby oil. Sayang, sampai selesai obat saya minum, tidak ada perubahan berarti. Tangan saya justru sering gatal dan perih.
Saya datang lagi berkonsultasi. Kedua kalinya, dr. Titie memberi obat untuk diminum dan dioles. Melihat kode merah tertera di kedua salep (Moisderm 20%urea dan chlorampenicol-prednisolon cream), sepertinya sakit saya ini bukan gatal biasa. Dari beliau akhirnya saya tahu, yang sedang mengganggu kedua tangan saya bernama dermatitis kontak. Satu di antara sekian reaksi alergi karena intens berkontak langsung/menyentuh sesuatu.
Apa mungkin saya alergi keyboard komputer?
Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas saat saya ingat bahwa keyboard komputer yang saya pakai saat itu adalah keyboard lawas. Saya mengganti keyboard bawaan dengan keyboard lawas karena memang sudah tidak bisa dipakai. Daripada buru-buru merogoh pundi redaksi dan membeli keyboard baru, saya lebih suka melihat-lihat isi lemari. Ya, siapa tahu ada keyboard yang masih bisa dipakai. Ternyata ada, tapi saya benar-benar lupa untuk membersihkan si keyboard dengan alkohol. Waktu itu saya hanya menyeka debu-debu dengan tisu lalu memakainya. Apa mungkin ada spora-spora jamur yang melekat dan belum sepenuhnya hilang, lalu menginfeksi ujung jemari saya? Ah, kenapa saya jadi rada parno? Ckckck …. 🙁
Resep kedua dari dr. Titie berhasil tandas. Kulit tangan saya jadi lebih lembut, memang. Namun, hasilnya belum seperti yang saya harapkan. Jemari masih saja belum berhenti mengelupas. Beliau saja keheranan mengapa bisa si dermatitis ini sebegitu membandelnya. Hmm …
***
Mei 2014
Karena belum juga menunjukkan hasil, saya pun berpikir untuk meneruskan pengobatan ke dokter spesialis kulit. Diputuskanlah untuk membuat janji dengan seorang dokter spesialis kulit di RS Gramedika 10. Saya memilih berobat di rumah sakit ini karena dekat dengan rumah, tidak ada alasan khusus.
Tanggal 8 Mei 2014 siang saya pun bertemu dengan dr. Rusnawi, Sp.K.K. setelah sehari sebelumnya membuat janji untuk konsultasi. Dari hasil pemeriksaan, saya diberi obat untuk diminum plus salep racikan.
Singkat cerita, obat tandas, salep habis, dan jemari yang mengelupas parah itu mulai sembuh perlahan. Alhamdulillah. Itu berarti saya bisa kembali bekerja dan beraktivitas dengan jemari kecil saya seperti biasa, tapi tentu dengan beberapa daftar pantangan: tidak boleh kontak dengan deterjen; harus memakai sarung tangan setiap kali mencuci piring; serta mengganti sabun mandi hingga krim tangan dengan produk bayi. Baiklah, saya tahu mesti bagaimana.
Then, time passed away ….
Enam bulan kemudian, tepatnya bulan November ini saya disibukkan lagi dengan urusan si dermatitis kontak. Hujan di awal November, boleh jadi menjadi sebagian pemicu. Saya pulang kehujanan. Sempat mengucek beberapa kaos kaki dengan sabun mandi. Malam harinya si tangan gatal-gatal. Beberapa bintik merah timbul di sela jemari. Esok harinya, si tangan mulai kembali bergejala: panas, gatal, mengelupas, perih.
Sepekan pekerjaan redaksi hanya bisa saya lakukan dengan pelan-pelan; sementara itu, jadwal mengajar privat kacau. Lepas dari dua hal itu, saya patut bersyukur. Para orangtua dari siswa yang saya bimbing semua bisa memaklumi hal ini. Alhamdulillah.
Selasa, 18 November 2014
Siang itu kedua kalinya saya datang berobat untuk kasus yang sama. Berjumpa dengan dr. Rusnawi setelah setengah tahun, tidak ada yang berubah dari pembawaan beliau yang serius. Masuk ruang periksa, tangan saya diteliti dengan bantuan senter. Beliau juga masih ingat kalau gejala di tangan saya tidak muncul di kaki. Sambil menuliskan resep obat, beliau menambahkan saran agar saya mengoleskan krim Ellgy untuk mencegah iritasi.
Saat saya menuliskan ini, sudah sepekan saya menikmati proses pemulihan. Obat yang saya minum sudah habis, salep masih terus saya oles 2 kali sehari pagi dan malam sebelum tidur. O ya, saya harus sedia stok krim Ellgy sebelum salep habis. Saya tahu ini butuh banyak kesabaran, tapi inilah yang harus saya lakoni.
Ya, saya belajar bersahabat dengan satu dari sekian banyak kekurangan saya: dermatitis kontak. Bagi saya inilah proses penerimaan diri, yang tentu akan menjadi lebih sempurna, jika saya tidak menyerah terhadap apapun. Saya tidak ingin berhenti menulis, meski jemari saya mudah teriritasi. Pun tidak ingin banyak mengeluh jika suatu ketika nanti si dermatitis kambuh (lagi). Saya hanya akan berpikir, bahwa itu berarti saat saya harus rehat (mengajar dan menulis), bukan berhenti total apalagi menyerah. Semoga saya selalu diberikan istiqomah oleh Gusti Allah. Aamiin.
Catatan:
Ternyata saat ini krim Ellgy sudah tidak diproduksi lagi. Info ini saya peroleh dari karyawan Apotek Kimia Farma, Jln. Kaliurang km 6. Sebagai gantinya, saya pilih krim QV. Untuk kemasan tube 100g seperti gambar di bawah, di Kimia Farma dibanderol dengan harga Rp101.200,00.
Fyi, di labelnya tertera:
perfume free, dermatological formula, propylene glycol free, pH balanced, dan lanolin free, serta “suitable for use with eczema, dermatitis, and psoriasis.”
Phie ak upernah begitu tangannya waktu lulus kuliah, padahal aku gak mencuci dan kontak langsung dengan sabun. Pekerjaan aku di depan laptop aja sama pegang kertas. Sudah sering ke dokter juga katanya bisa karena stres walaupun aku tidak merasa stres. Tapi ternyata stress juga bisa di luar sadar ya. Waktu itu sama dokter kulit dikasih salep juga tapi lupa namanya. Allhamdulillah sekaang sudah tidak pernah kambuh paling sedkit itupun kalau terkena debu dijalan
Naah, itu dia, Mbak. Saya takutnya karena saya ga ngeh kalau saya stress, jadinya malah lari ke kulit.
Mudah-mudahan pemulihan ini lancar dan saya bisa segera kembali beraktivitas seperti biasa. Aamiin.
Mbak, aku juga pernah punya alergi kulit waktu kecil. Aku alergi sama gabah. Kalo kaki nginjek gabah atau lantai yang abis dipakai untuk menjemur gabah, pasti kulitku lansung gatal2 hingga bernanah. Dulu aku diobatin ke mana2 sama orang tua… dokter umum, dokter anak, sinsei, dll., tapi tidak berhasil. Aku juga udah makan kadal dan ular yang katanya bisa menyembuhkan, tapi juga tidak begitu berhasil. Aku bisa sembuh karena saran lain yaitu mengkonsumsi tokek. Bisa digoreng lalu dimakan jadi lauk. Bisa juga disangrai sampai menyerupai arang kemudian ditumbuk halus dan dicampur dengan minuman kopi untuk “menyembunyikan” keberadaan tokek sangrai tadi. Mungkin kita memiliki alergen yang berbeda dan gejala yang berbeda pula, tetapi alergi kita sama2 terjadi di kulit. Tokek kondang sebagai obat alergi kulit. Ini memang saran yang-kalo-dibayangin-buat-dilakuin, rasanya jadi agak nganu, tapi saran ini benar2 menjadi jalan penyembuhku. Kalau mbak punya cukup nyali untuk mengkonsumsi obat yang tidak biasa ini, silakan dicoba. Aku berdoa untuk kesembuhanmu 🙂
Aaah, berbagai upaya harus ditempuh dengan sabar demi kesembuhan, Ian. Makasih banyak sarannya, ya 🙂
Saya juga punya dermatitis mb Phie, tapi di kaki. Namanya atopik dermatitis. Sudah saya alami sejak SMP, hingga kini lulus kuliah pun masih sering kambuh terutama di bulan Juli-Agustus. Konon, memang tidak bisa disembuhkan, tapi ada beberapa orang yang bisa sembuh setelah usia 30 tahun.
Obatnya hanya untuk mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan. Karena rasanya gatal dan perih kalau kambuh, bagian kulit yang luka jadi menebal dan menghitam. Pengalaman saya jangan sampai membiarkan kulit kering, sering-sering dioles dengan moisturizer. Pernah juga pakai salep hidrokortison, tapi ini gak baik kalau dipakai terus-menerus.
Jadi, saya juga bersahabat cukup lama dengan dermatitis mbak. Entah kapan bisa sembuhnya. Meskipun secara estetik gak bagus, soalnya jadi punya banyak bekas luka di kulit kaki.
Semoga kita bisa sabar ya mbak, dan segera Allah beri kesembuhan. 🙂
Sama-sama sabar ya, Puch. Diberi sakit seperti ini pasti ada tujuannya, ada hikmahnya.
Aamiin ya Rabb, semoga kita segera diberi kesembuhan.
Wah jadi itu namanya dermatitis kontak, padahal dulu sering kayak gitu -_-
Yang penting dijaga kelembapan kulitnya, Mas. Jangan sampai pecah-pecah parah begitu. 🙂
Sabar mbak Phie.. jadikan Dermatitis Kontak sebagai penggugur dosa-dosa.. Semoga selekasnya bisa sembuh ya
Aamiin ya Rabb. Matur nuwun doanya, Kang Lozz. InsyaAllah, selalu sabar. 🙂
Obat ƴαƞğ dimakannya apa ? Untuk gatal semacam psoriasis….terima kasih