Patriot di Kehidupan Kami: Ibu

Bicara soal patriot, ingatan saya langsung tertuju kepada para pejuang. Ya, mereka yang memanggul senjata demi mempertahankan kedaulatan negeri. Namun, sebenarnya patriot tidak hanya berlaku bagi beliau-beliau saja. Tanpa berdarah-darah di medan pertempuran pun, seseorang tetap bisa disebut sebagai patriot atau pahlawan.

Dalam lingkup kecil, keluarga kami, ada seorang yang telah begitu keras berupaya menjadi patriot sejati sepeninggal Bapak. Saya panggil beliau, Ibu. Heni Astuti, nama lengkap beliau. Perempuan yang lahir di awal bulan ketujuh dan dikaruniai tiga orang buah hati ini, kini berusia paruh baya; sesekali jatuh sakit seperti yang terjadi seminggu terakhir. Semoga lekas sehat, Bu. Kami menyayangimu.

Menengok kembali kisah lalu kami, ah … tidak pernah terbayang jika di usia pernikahan beliau yang ke-17, kami akan kehilangan Bapak untuk selamanya. Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA, sementara dua adik saya berturut, SMP kelas 2 dan SD kelas 1. Rasanya tidak ada liburan kenaikan sekelabu Juli 2000. Bukan, itu bukan liburan … itu mimpi buruk. Benar bahwa saya masuk tiga besar di kelas; tetapi apa bagusnya jika di liburan itu saya harus kehilangan seorang ayah? Sedih, tapi bisa apa saya?

Kami kehilangan nakhoda di tengah badai yang mengamuk, … dan itu buruk. Namun, Ibu tak tinggal diam. Kemudi keluarga pun beliau ambil alih. Tak sekokoh ketika ada Bapak, tapi kami patut berterima kasih kepada Ibu. Di tengah sesaknya ditinggal orang tercinta, beliaulah yang berusaha mengurus uang jaminan sosial tenaga kerja dan pensiun Bapak; meski pada akhirnya pihak direksi kantor tempat Bapak bekerja tak bersedia membayar tunjangan untuk ketiga anak yang kehilangan Bapaknya. Ah, sedih rasanya mendengar cerita Ibu soal hal ini beberapa tahun kemudian. Ternyata sebagian manusia tak mau berlaku adil kepada sesamanya.

Ibu tak menuntut mereka. Bagi beliau, mengurusi kami dengan cara lain masih bisa dilakukan sekalipun beliau tak punya pekerjaan, selain mengurus rumah dan kebun. Saya ingat benar kalimat beliau,

Gusti Allah iku ora nate sare, Mbak.” (Gusti Allah itu tidak pernah tidur, Mbak)

Ya, tentu Tuhan takkan pernah begitu saja membiarkan hamba-Nya telantar. Dengan upaya, Ibu membuktikan kepada kami bertiga bahwa hal itu benar adanya. Tak kurang-kurang upaya beliau agar kami tetap bisa bertahan hidup, bersekolah dan menggapai impian.

Hidup kami memang berubah drastis sepeninggal Bapak; tetapi melihat kegigihan Ibu, ada sesuatu tercetus dalam pikiran saya, “Saya harus bisa meringankan beban beliau sesegera mungkin.”

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak gadis usia SMA? Tidak lain adalah belajar sekuat tenaga, menjadi anak yang baik dan mandiri. Setidaknya dengan itu, saya bisa membuat Bapak dan Ibu bangga. Tidak ada lagi rajukan atau rengekan minta ini itu. Tidak juga mengharap berlebih.

Kegusaran yang benar-benar mengganggu justru muncul ketika saya lulus SMA. Bapak sangat menginginkan saya dapat melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Hanya satu PTN yang beliau tunjuk, Universitas Gadjah Mada, dan itulah sebabnya saya gusar luar biasa. Apa saya mampu? Ah, pertanyaan itu begitu menghantui. Tapi, saya tak berhenti berupaya … sampai akhirnya hari pengumuman SPMB 2002 tiba. Saya mendapat kabar bahwa saya diterima di pilihan kedua, Jurusan HPT Pertanian. Saya bahagia, tapi hanya bisa diam. Meski demikian, saya mencuri dengar info dari seorang kawan. Salah satunya,

“Biaya kuliah mahasiswa baru tahun 2002 meningkat dua kali lipat lebih sedikit dibanding angkatan sebelumnya.”

Makin gusarlah saya. Alhasil, saya pendam beberapa hari hanya agar masa registrasi berlalu begitu saja dan Ibu tak perlu repot membiayai saya kuliah.

Sayangnya, ke-keraskepala-an saya pecah di hari terakhir registrasi ulang mahasiswa baru. Pagi itu Ibu menyodorkan sebuah amplop cokelat.

“Ini, Mbak, buat mbayar registrasimu. Ambil sekarang. Tahun depan belum tentu kamu bisa lolos ujian.”

Setengah tak mengerti mengapa Ibu bersikeras. Uang dalam amplop itu dari mana berasal? Rupanya, Ibu menggadaikan perhiasan beliau. Demi saya? Ah, Gusti … Mohon lapangkan segala urusan beliau.

be with Mom
bersama Ibu

Itu baru satu di antara sekian banyak kisah kami. Ketegaran Ibu membuat saya selalu berusaha berpikir positif, terutama jika saya gagal. Ah, Ibu. Upaya beliau membuat saya teringat sebuah kisah dalam buku “Kekuatan Cinta” karya Irfan Toni Herlambang.

Tersebutlah dua suku di Pegunungan Andes, suku Gunung dan suku Lembah. Suatu hari suku Gunung menyerang suku Lembah. Pasukan suku Gunung tidak hanya mencuri harta benda suku Lembah, tetapi juga menculik seorang bayi. Kepala suku Lembah pun mengerahkan prajurit terbaik untuk mendaki tebing terjal dan membawa pulang si bayi. Sayangnya, meski telah beberapa hari berusaha, upaya mereka gagal. Putus asa, rombongan prajurit suku Lembah pun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang ke lembah, mereka melihat ibu si bayi turun dari tebing sambil menggendong anaknya. Mereka keheranan, bagaimana bisa? Si ibu pun menjawab,

“Sebab bayi yang diculik itu bukanlah bayimu. Dan kalian semua belum pernah menjadi ibu.”

Ya, sebesar itulah kekuatan cinta seorang ibu. Dalam kasus saya, tentu beliau mengkhawatirkan masa depan dan impian saya. Hm, kini setelah beberapa tahun saya menamatkan studi, adalah kesempatan saya untuk meneruskan nilai-nilai patriot itu. Membawa Ibu dan Bapak dalam setiap doa dan upaya. Memberi yang terbaik yang bisa saya lakukan karena sesulit apapun kehidupan, tak ada yang benar-benar sulit, jika ditempuh. Semoga Gusti Allah memudahkan segala upaya. Aamiin.

Tulisan ini diikutsertakan pada acara Syukuran di Bulan Maret : Sang Patriot di Kehidupan Kami

0 thoughts on “Patriot di Kehidupan Kami: Ibu

  1. Aslik, saya mewek baca postingan ini, semoga Ibu selalu di karuniai nikmat sehat dan di mudahkan dalam segala urusanya ya Phie, sungkem takzim dan salut buat Beliau…

    Sukses GA nya..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *