forest, water, life

Untuk Hutan, Air, dan Kehidupan

Hari ini saya ingin menyampaikan salam hangat untuk hutan, air, dan kehidupan. Bukan apa-apa. Ada yang membuat bulan kelahiran saya ini begitu hangat. Ya, hutan dan air diperingati di bulan ketiga ini. Kemarin, 21 Maret bertepatan dengan hari kelahiran saya, ditahbiskan pula sebagai peringatan Hari Hutan Internasional. Ah, saya serasa diberkahi Gusti Allah karena tanggal itu menjadi tanggal penting bagi penduduk bumi. Juga hari ini, 22 Maret, yang diperingati sebagai Hari Air Internasional.

forest, water, lifecredit

Ya, rasanya memang tak boleh memisahkan hutan dan air terlalu jauh. Tak boleh memisahkan dua hal penting tersebut dari kehidupan kita–seluruh penghuni bumi ini. Jika hutan di bumi ini merana (atau bahkan habis), siapa lagi yang mampu menyimpan oksigen dan air bagi berlangsungnya kehidupan? Namun, rasanya terlalu menyedihkan ketika harus mengakui bahwa kondisi hutan di seantero bumi sangat memprihatinkan saat ini. Entah, terkadang saya sendiri heran. Apakah rakus dan sombong adalah sifat buruk manusia yang harus membuat hutan dan air hilang dari muka bumi? Mestinya TIDAK begitu. Haruskah manusia dihadapkan dulu dengan kisah Gurun Sahara—wilayah terkering di dunia—baru mereka mau insaf atas kesalahan merusak bumi? Ah, mestinya juga TIDAK begitu.

Sekalian me-review kisah ‘manis’ Sahara; pernah saya lihat di sebuah film dokumenter, kawasan Gurun Sahara di masa lalu adalah hamparan hutan yang hijau permai. Sayangnya, dalam kurun waktu 5.500 tahun, hutan tersebut punah. Yang tersisa hanyalah fosil-fosil serbuk sari, lukisan-lukisan manusia gua tentang apa yang ada di sekitar mereka kala itu, dan satu lagi … yang ini jauh lebih menyedihkan; sehampar luas gurun pasir kering dan gersang sebagai warisan peradaban. Ah, itu sungguh menyedihkan! Adakah kado lebih indah untuk generasi mendatang, ketimbang padang pasir kering dan gersang?

Yang sering sekali mampir di benak saya adalah berlarik-larik pikiran, lebih tepatnya keheranan. Mestinya manusia modern tak membakar hutan, seperti yang dilakukan para peladang berpindah penghuni Sahara. Mestinya juga tak perlu TERLALU mengejar materi demi alasan kesejahteraan manusia dan pertimbangan ekonomi; kalau itu justru memberi akibat buruk di kelak kemudian hari. Bukankah manusia dikaruniakan juga akal budi untuk berpikir jauh ke depan? Bukankah jauh lebih terhormat, jika mampu mewariskan bumi yang lebih ramah, hijau, dan beradab untuk generasi masa depan? Sungguh, saya heran terhadap perangai sebagian manusia.

kerusakan hutan, Kalimantan, kelapa sawit
kerusakan hutan Kalimantan akibat ekspansi perkebunan sawit (credit: MongabayID)

Sayang, mencari siapa yang salah tidak akan begitu saja menyelesaikan masalah. Sejatinya, tiap manusia punya andil merusak bumi, termasuk saya. Yang penting adalah kesadaran untuk mau mengakui kesalahan dan mau memperbaiki keadaan. Cuma, ada berapa banyak yang mau? Tidak mungkin bukan menggantungkan kelestarian hutan, air, dan bumi hanya dari insan-insan yang mau peduli terhadap alam dan lingkungan; sementara yang merusak terus saja merajalela?

Di sisi lain, hukum harus tetap bekerja menegakkan keadilan. Menahan mereka sementara waktu dalam hotel prodeo kadang saya pikir baik, tapi tak selamanya. Mereka semestinya diberi ganjaran lebih. Bekerja sosial, misalnya. Wujudnya bisa dengan mewajibkan mereka untuk membibitkan satu benih tanaman/pohon per hari berikut memelihara bibit itu sampai cukup kuat untuk dipindahtanamkan. Bukankah itu jauh lebih manusiawi ketimbang menjalani kerja rodi?

Mungkin ide ini aneh, tapi cukup masuk akal. Maksud saya, tidak lain adalah menghangatkan hati mereka yang telanjur beku oleh ketamakan. Kalau mereka diganjar, katakanlah, 12 tahun pidana kurungan. Hitungan gampangnya akan ada …. 12 tahun x 365 hari x 1 bibit = 4.380 bibit untuk tiap narapidana. Menurut saya, menjalani proses semacam itu akan membuat mereka lebih sadar, bahwa menumbuhkan para penjaga bumi (baca: hutan) adalah proses panjang penuh kesabaran. Bukankah, dalam hati yang sabar dan hangat akan mudah sekali tersemai kepedulian? Lagipula, manusia punya hati dan rasa. Seburuk apapun perangai, bukan berarti tidak ada jalan terang untuk pulang pada kebaikan. Bukankah demikian?

Ah, semoga uneg-uneg saya tentang hutan dan air pagi ini bermanfaat. Sekadar menuliskan sesuatu yang terlintas di benak. Sekadar mengingat hutan, air dan berterima kasih atas segala hal yang telah diberikan hutan, air kepada saya dan seluruh penduduk bumi.

0 thoughts on “Untuk Hutan, Air, dan Kehidupan

  1. Manusia modern memang paradoksal. Katanya sayang dan peduli lingkungan, tapi perilakunya kental nuansa materiil. Kasus pembakaran hutan di Riau itu sangat sangat menggelikan. Menjijikkan dan harus direspons cepat oleh pemerintah. Sedangkan kita, mari berdoa dan lebih peduli lingkungan. Kalau hutan tak lagi produktif dan tak berbaik hati menyimpan, bagaimana coba? Salam lestari. 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *