Setengah Hari Bicara TORCH Bersama RS Akademik UGM dan Rumah Ramah Rubella

Hai, Sahabat! 🙂 Masih ingat dengan tema TORCH di postingan sebelumnya? Saya menanti kesempatan selanjutnya untuk bisa menambah ilmu soal TORCH (lagi) … dan kesempatan itu benar-benar datang akhir Maret lalu, melalui seminar perdana Rumah Ramah Rubella yang digelar Sabtu, 29 Maret 2014 di RS Akademik Universitas Gadjah Mada, Jl. Kabupaten (Ring Road utara) Kronggahan, Gamping, Sleman. Syukur alhamdulillah, hari itu saya pas libur, jadi tanpa ba-bi-bu lagi saya mendaftar untuk memenuhi undangan mak Grace sebagai salah satu perwakilan dari Kumpulan Emak Blogger (KEB).

Sabtu, 29 Maret 2014. Saya bersiap sepagi mungkin. Maklumlah jarak rumah—lokasi seminar termasuk memakan waktu. Setelah sarapan sekenanya, alon-alon waton kelakon, pk. 07.30 saya pun berangkat.

Seperti dugaan saya, nyasar adalah hal teramat lumrah. Saya lupa berbelok dan alhasil keplantrang sampai depan Pasar Cebongan. *duuh! Setelah bertanya kepada seorang pemilik warung makan, saya pun memutar balik dan menemukan perempatan besar di sebelah timur Youth Center ke arah ring road. Ya, belokan itulah yang terlewat. Total, ada sekitar 1 jam dari keberangkatan hingga akhirnya sampai di ruang seminar. Ah, iya, nyasar saya tak hanya terjadi di jalan, tetapi juga di lokasi RSA UGM. 😳

Pk. 08.30 R. Auditorium RSA UGM. Usai nyasar di area RSA, sampai juga saya di depan meja daftar ulang peserta. Sendirian. Saya tidak datang bersama dengan anggota KEB lain. Setelah membubuhkan tanda tangan, saya memindaikan pandangan, mencoba mencari barangkali ada yang saya kenal. Nihil. Karena tak berhasil menemukan teman, saya pun mengambil posisi. Peserta sudah lumayan memenuhi ruangan, tapi masih tersisa kursi yang strategis, di depan podium baris kedua bagian utara. Di situlah posisi saya mengikuti acara hingga akhir.

Acara dimulai dengan sambutan ketua panitia seminar, dilanjutkan oleh mak Grace Melia sebagai founder Rumah Ramah Rubella. Walah, rupanya yang ini ta mak Grace? Hehe maklumlah, saya belum pernah kopdar sebelumnya. Dalam sambutannya, mak Gracie menyampaikan bahwa seminar ini merupakan seminar pertama yang diselenggarakan oleh Rumah Ramah Rubella. Pantas saja, beberapa hari sebelumnya di twitter mak Grace mengaku deg-deg-an. Meski demikian, sepengamatan saya, sampai di sesi sambutan tersebut rangkaian acara seminar berlangsung dengan lancar. 😉

Usai sambutan, kami menyimak testimoni seorang ibu dari anak penyandang gangguan virus Rubella bernama Gendhis. Ungkapan hati si ibu terus terang membuat saya trenyuh. Ya, saya catat baik-baik imbauan yang disampaikan: cek kesehatan pranikah (premarital check up), vaksin MMR, serta rajin memantau kondisi kesehatan diri dan janin selama kehamilan.

materi seminar TORCH Rumah Ramah Rubella
materi seminar TORCH Rumah Ramah Rubella

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan empat sesi pemaparan dari dokter anak. Ini dia yang saya tunggu. Dua sesi pertama disampaikan secara panel. Narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Sunartini dan dr. Noormanto.

Prof. Sunartini memaparkan seperti apa infeksi TORCH secara umum, cara penularan, bagaimana perkembangannya sampai menjadikan anak-anak terlahir dengan kelainan bawaan, serta langkah antisipasi yang dapat dilakukan.

Jadi, apa itu TORCH? TORCH merupakan sekelompok penyakit infeksi kongenital pada susunan saraf pusat janin. TORCH meliputi T (Toxoplasmosis), O (others, yaitu beberapa penyakit menular seksual yang berakibat mirip dengan TORCH yang lain, misalnya sifilis, HIV, varicella), R (Rubella), C (Cytomegalovirus = CMV), dan H (Herpes simpleks = HSV).

Infeksi TORCH ditularkan dari ibu ke janinnya. Ada beberapa cara transmisi/penularan patogen, tergantung jenis penyakitnya. Khusus unuk kasus Rubella, ibu hamil disarankan untuk tidak menengok bayi baru lahir yang terinfeksi Rubella karena virus ini dapat berpindah melalui udara, seperti halnya influenza. Penularan dapat juga terjadi lewat makanan yang tercemar oleh inang pembawa (misalnya toxoplasma). Yang perlu diingat baik-baik, TORCH dapat menembus plasenta dan barrier otak sehingga sangat penting untuk cermat dan menjaga kebersihan selama masa kehamilan.

Beliau juga menekankan bahwa waktu infeksi akan sangat berpengaruh terhadap kejadian gangguan pada tubuh anak. Bila infeksi virus Rubella terjadi pada bulan-bulan awal (embrionic period), maka kerusakannya akan mayor. Sementara, bila infeksi terjadi pada fetal period (>9 minggu), maka kerusakaan akan terjadi pada fungsi alat-alat tubuh.

Sayangnya, belum banyak orang yang secara sadar melakukan premarital check up, seperti yang disampaikan oleh Prof. Sunartini. Padahal dibanding dengan nominal biaya penyelenggaraan pesta pernikahan, pemberian vaksin MMR jauh lebih murah. Sebuah catatan penting bagi kita semua, calon/orangtua.

Lebih lanjut, Prof. Sunartini menambahkan bahwa di Jogja sendiri, menurut catatan RS Dr. Sardjito, kasus campak Jerman/Rubella telah mencapai angka yang mengkhawatirkan (>70%). Meski demikian, kejadian Rubella setelah kelahiran termasuk tidak mematikan dan lebih ringan ketimbang campak biasa. Namun demikian, tidak semestinya kita menganggap remeh penyakit ini.

Narasumber kedua, dr. Noormanto, memaparkan tentang efek TORCH terhadap perkembangan jantung anak serta risiko penyakit jantung bawaan (PJB) yang mengintai anak dengan gangguan TORCH.

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan defek atau kelainan jantung yang terjadi di dalam rahim sebelum bayi lahir. Hingga saat ini penyebab pasti PJB belum diketahui secara pasti. Namun, faktor genetik dan lingkungan sangat berperan di sini. Beberapa jenis PJB di antaranya kelainan lubang antara bilik jantung (ventricular septal defect -VSD), penyempitan katup/kelep (senosis), terjadinya lubang dan penyempitan (tetralogy of Fallot), serta kelainan otot jantung (cardiomiopathy).

PJB tidak hanya berisiko terjadi pada ibu hamil yang terinfeksi Rubella dan penyakit akibat virus lainnya; tetapi juga dapat terjadi pada kasus bayi dengan kelainan genetik (misal Long QT syndrome, Down syndrome), herediter (riwayat keluarga), juga ibu hamil dengan penyakit kronis (diabetes), pengguna obat-obatan, alkohol, serta perokok.

Ditambahkan pula oleh dr. Noormanto, angka kejadian PJB sekitar 4–9% per 1000 kelahiran bayi cukup bulan. Sementara itu, menurut catatan, di RS dr. Sardjito dalam 4 bulan terakhir ditemukan 15 kasus Rubella dengan PJB. *wah! 🙁

Di sesi berikutnya, dua dokter lain yang mendalami organ pendengaran dan penglihatan, dihadirkan untuk memperkaya wawasan para peserta seminar; dr. Mahatma S. Bawono, M.Sc.Sp.THT-KL (dr. Boni) dan dr. Eva Revana. Kedua materi disampaikan secara panel.

Dokter Boni memaparkan tentang efek TORCH terhadap perkembangan indera pendengaran anak. Meski secara umum gangguan pendengaran lebih banyak terjadi karena infeksi Rubella dan CMV, beliau menekankan pentingnya memantau perkembangan kemampuan dengar anak sedini mungkin. Mengapa? Karena indera ini secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan bicara si anak kelak. Anak dengan gangguan pendengaran akan mengalami kesulitan bicara karena tanpa mendengar, anak tidak mampu mengenal bunyi/menirukan suara. (Masih ingat dengan cerita Zaki di postingan sebelumnya, kan?)

Beliau juga menyoroti kebiasaan menunggu yang telanjur membudaya. Jangan sampailah hal macam ini diterus-teruskan. Anak tidak dapat menyampaikan keluhannya, maka sudah semestinya orangtua yang lebih aware. Dengan begitu, diagnosis gangguan pendengaran, penanganan, re/habilitasi dapat dilakukan segera. Hal ini mengingat proses matureness telinga terjadi pada rentang usia 0—12 bulan. Berikut ini beberapa saran dr. Boni untuk diperhatikan para orangtua:

  1. Skrining pendengaran sebelum usia 1 bulan.
  2. Evaluasi pendengaran sebelum usia 3 bulan.
  3. Intervensi gangguan pendengaran sebelum usia 6 bulan.

Sementara itu, dr. Eva Revana memaparkan tentang efek TORCH terhadap perkembangan mata anak. Pada infeksi toxoplasma kelainan mata yang dapat terjadi antara lain: retinitis, choroiditis, iristis, dan anterior uveitis. Pada infeksi syphilis, dapat terjadi keratitis interstisial, dan chorioretinitis. Pada infeksi Rubella, dapat terjadi katarak kongenital, glaucoma, mikrophthalmi (ukuran bola mata kecil), dan retinopati. Pada infeksi CMV, dapat terjadi uveitis, katarak, mikrophthalmi, retinochoroiditis, dan kelainan saraf mata. Pada infeksi herpes, dapat terjadi konjungtivitas, keratitis, katarak, dan kelainan saraf mata.

Wah, banyak juga, ya … ckckckck. 😯 Pantas saja beberapa sesi tanya jawab dalam acara seminar ini tak pernah sepi pertanyaan. Tampak sekali antusiasme peserta. Dua di antaranya dari anggota KEB yang rupanya duduk tak jauh dari saya, Mak Irul dan Mak Fenny. *baru ngeh 😛

Usai sesi tanya jawab, acara dilanjutkan dengan pembagian doorprize. Saya tidak memperoleh doorprize, tapi cukup senang membawa pulang tambahan wawasan, goodie bag dari panitia, dan menyantap makan siang bersama mak Irul (meski gagal foto bareng mak Grace hiks 🙁 ).

Alhamdulillah. Sungguh pengalaman baru dan berharga bagi saya bisa hadir di acara seminar ini. Terima kasih mak Grace, Rumah Ramah Rubella, RSA UGM, dan tentunya KEB.

PS: Untuk informasi materi seminar lebih detail, silakan tengok di file grup Rumah Ramah Rubella https://www.facebook.com/groups/rumahramahrubella/files/. O ya, satu lagi, Sahabat yang ingin melihat lebih dekat seperti apa acara seminar, siakan klik video di bawah ini. 😉

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=zpKp14zL9Bw&w=640&h=360]

 

0 thoughts on “Setengah Hari Bicara TORCH Bersama RS Akademik UGM dan Rumah Ramah Rubella

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *