Si Merah dan Dua Dasawarsa Kami

Saya sering memberi nama barang-barang pribadi dengan warnanya, termasuk si Merah: mushaf pertama saya. Tak terasa tahun ini Merah telah bersama saya selama 20 tahun. Angka yang tidak pernah saya duga jauh sebelumnya ketika saya meminta Ibu membelikan mushaf di sebuah lapak buku di Pasar Pakem.

Entah, tidak ada angin pun hujan, kala itu pandangan mata saya seolah tercuri olehnya. Padahal saya termasuk anak yang agak enggan memilih warna merah. Segala benda yang melekat di badan, didominasi warna cerah, lebih seringnya putih, begitu Ibu mengenang kebiasaan saya waktu kecil. Lalu, apa yang sebenarnya mendasari saya memilih si Merah? Ukurannya yang lumayan besar. Saya bahkan bisa menutup area dada hingga perut dengan mushaf tersebut. … dan lagi, karena ukuran fisiknya yang besar, huruf-hurufnya pun tercetak lebih besar, lebih mudah bagi saya yang saat itu sedang belajar membaca Al Qur’an.

Bisa dibilang saya agak terlambat bisa membaca Qur’an dibanding anak-anak sekarang. Waktu itu saya sudah duduk di kelas 5 sekolah dasar, baru kenal dengan TPA dan buku iqro. Sebelumnya belajar mengaji dilakukan di masjid dekat rumah orangtua, At-Tauwabin, pun bukan dengan buku iqro. Khasnya anak-anak kelahiran tahun 80-an dan era sebelumnya, saya dan teman-teman belajar mengaji dengan turutan. Alif fathah a, ba dhomah bu, ta kasrah ti … dan seterusnya. Baru setelah lancar, boleh mengaji juz’amma, berikutnya Al Qur’an.

Sayangnya, waktu itu saya tidak punya mushaf di rumah. Mau belajar baca Qur’an harus ke masjid dulu, dan itu hanya bisa saya lakukan usai sholat Magrib hingga adzan Isya. Di luar itu? Hmm… Karena itulah, saya pun meminta Ibu membelikan sebuah mushaf … dan, akhirnya, berjodohlah saya dengan si Merah. 🙂

Setelah dibelikan mushaf, niatan untuk belajar membaca Qur’an mulai kuat. Meskipun, sering juga saya absen mengaji cukup lama. Berusaha untuk istiqomah memang susah, tapi bukan berarti berhenti. Masuk masa SMP, saya masih belum bisa konsisten. Sekali ngaji, bolos beberapa hari, ngaji lagi dua hari, bolong lagi … ckckck. *geleng kepala*

Saya mulai aktif lagi baca Qur’an sejak masuk SMA, sekitar tahun 1999. Kala itu setiap hari Jumat usai sholat Dhuha berjamaah, kami seluruh siswa muslim SMU 9 Yogyakarta diwajibkan untuk mengikuti kegiatan membaca Qur’an. Sebenarnya nama kegiatannya baca-tulis Al Qur’an (BTA), tetapi karena jumlah guru pengampu terbatas sementara muridnya jauh lebih banyak, maka yang lebih sering dilakukan adalah membaca Qur’an lalu dilanjut dengan mengkaji ayat-ayat tertentu. Btw, bersyukur saya bisa bersekolah di sana. Setidaknya, saya tidak sempat berpikir untuk terlibat kenakalan remaja. Well, sampai tiba hari ujian praktik membaca Qur’an di kelas 3 SMU, si Merah-lah yang bersama saya.

mushaf Merah yang 20 tahun bersama saya
mushaf Merah yang 20 tahun bersama saya

Hingga hari ini pun saya masih menggunakan Merah sebagai satu-satunya mushaf yang saya baca sehari-hari di rumah, lepas sholat Magrib dan/atau Subuh. Ukuran hurufnya yang besar, memudahkan mata saya yang kini berlensa. Mana enak ngaji sambil memicingkan mata karena ukuran hurufnya kecil-kecil? Ada juga malah tambah lelah di mata, menurut saya.

Meski beberapa bagian sampul si Merah sudah mengelupas, ia masih bisa saya pakai. Lagi pula style-nya yang klasik, mungkin sudah tidak beredar lagi di pasaran. Hehehe, saya tidak ada maksud menjadi penyuka benda-benda bernuansa vintage, sih, tapi kalau kejadiannya sampai 20 tahun seperti ini, … apa kata orang, terserahlah. 😆

11 thoughts on “Si Merah dan Dua Dasawarsa Kami

  1. Semoga selalu istiqomah ya non….

    Teteh ngga bisa baca Al-qur’an yang ini, pakainya yang Madinah itu.
    Perjalanan teteh untuk bisa baca Al-qur’an cukup panjang dan mencari sendiri, krn waktu dulu, ke dua orang tua teteh tidak mengajarkan teteh mengenal Al-qur’an, sampai di PT masih terbata-bata..*sedihnya*

  2. Si Merah benar-benar jadi sahabat karib yang paling istimewa nih. 20 tahun menemani, benar-benar WOW deh, Mbak Phie. Semoga makin istiqamah… Aamiin

  3. Mushaf pertamaku juga masih ada di rumah, tp kondisinya wes prothol-prothol je.

    #Eh, InsyaAllah aku ikutan jelajah wisata tahun ini, tapi blm daftr. Katanya rute kaliurang ya. Rencana sama sepupuku yg thn kemarin ikutan itu. Kebetulan saat ini dia lagi off lagi kuliahnya jd vacuum kegiatan di rumah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *