Bicara Demam Berdarah Dengue dan Wolbachia Bersama EDP Yogya

Tiap kali mendengar demam berdarah dengue (DBD), ingatan saya akan kembali ke masa silam. Masih lekat di benak saya, hari masih sangat pagi kala itu, akhir November 2013. Suara ‘monster’ mendengung di luar rumah. Ada ‘serangan fajar’ lagi, saya membatin. Ya, begitulah saya mengistilahkan fogging.

fogging di akhir November 2013
fogging di akhir November 2013

Beberapa hari sebelumnya, saya mendengar kabar bahwa tiga anak di wilayah rukun warga kami divonis terkena DBD … dan yang terjadi kemudian: (lagi-lagi) fogging. Berhenti di situ? Sayangnya, tidak. Kasus DBD tetap saja terulang di wilayah kami saban tahun. Menyedihkan.

Lantas, mengapa sedemikian sering wilayah kami di-fogging? Apa memang cara ini dianggap paling gampang ditempuh? Apakah fogging menjadi satu-satunya cara pemberantasan sarang nyamuk yang TOP? Cukup efisien dan efektifkah, mengingat tidak hanya nyamuk yang mati? Adakah pilihan lain yang bisa diambil, pilihan yang tak seburuk mengirup bau insektisida?

Gumpalan pertanyaan dalam benak saya perlahan menemukan jawabannya saat saya datang ke kantor Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya, dua tahun kemudian, tepatnya 1 Desember 2015 lalu. Tak sendiri, saya datang bersama teman-teman Komunitas Blogger Jogja.

kantor EDP dari depan
kantor EDP Yogya dari depan

Siang itu kami disambut oleh tiga orang kru EDP: Mbak Bekti Dwi Andari, mas Paulus Enggal, dan Dr. Warsito Tantowijoyo. Antusiasme beliau bertiga membuat acara kunjungan kami begitu hidup.

Pertama, kami diperkenalkan kepada Eliminate Dengue Program Global (EDP Global), sebuah program penelitian kerja sama penanggulangan DBD yang dikembangkan di beberapa negara: Australia (penggagas), Brazil, Columbia, Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Di Indonesia, proyek non-profit ini dikembangkan di Yogyakarta dan sepenuhnya dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Peneliti Utama di EDP Yogya adalah Prof. Dr. Adi Utarini, MPH., Ph.D dan dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D sebagai peneliti pendamping. Secara teknis kegiatan EDP Yogya didukung oleh EDP Global, sementara dana kegiatan riset disokong oleh Yayasan Tahija Jakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan alternatif pengendalian infeksi dengue secara alami dengan bakteri Wolbachia. Secara gampang, dapat digambarkan dalam metode ini bakteri Wolbachia diinfeksikan ke tubuh serangga vektor dengue: nyamuk Aedes aegypti. Di dalam tubuh si nyamuk, bakteri tersebut akan menjalankan perannya mengendalikan virus dengue yang terbawa dan menyebar ke nyamuk lain. Dengan metode nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia diharapkan penularan virus dengue dapat dicegah secara efektif, murah, dan berkelanjutan. Secara ringkas kita bisa menyimak garis besar penelitian EDP dalam video berikut.

Tadi disinggung soal Wolbachia, apa itu Wolbachia? Wolbachia adalah salah satu jenis bakteri yang diketahui hidup di tubuh serangga. Wolbachia pertama kali ditemukan pada inang nyamuk Culex pipiens, berkat penelitian Marshall Hertig dan S. Burt Wolbach yang dipublikasikan tahun 1924. Dari publikasi ilmiah mereka—berjudul Studies on Rickettsia-Like Micro-Organisms in Insects—diketahui bahwa dalam tubuh nyamuk tersebut hidup sejenis mikroba yang terbawa secara herediter/dapat diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur.

Lebih lanjut lagi, Wolbachia ditemukan hidup secara alami dalam sel-sel tubuh serangga tropis, semisal lalat buah, capung, ngengat, kumbang, bahkan nyamuk yang mengisap darah kita. Ada setidaknya 60% dari jenis serangga yang ber-Wolbachia. Namun, bakteri tersebut tidak ditemukan di tubuh nyamuk Aedes aegypti. Di sinilah EDP berperan. Melalui penelitian berkesinambungan selama bertahun-tahun, analisis risiko, dan uji keamanan terhadap manusia, binatang, dan lingkungan; akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa metode nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia sangat aman untuk dirilis.

Meski dalam skala terbatas metode ini telah terbukti sangat aman, bukan berarti bisa langsung diujicobakan di tengah masyarakat. Ada tahapan-tahapan yang mesti dilalui. Hal ini tercermin pada lima komponen utama, yaitu pelibatan pemangku kepentingan; pengembangbiakan nyamuk, pelepasan dan pemantauan populasi nyamuk ber-Wolbachia; diagnosis kandungan Wolbachia dan virus dengue dalam nyamuk di daerah pelepasan; serta pemantauan kasus DBD secara aktif di daerah bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat.

Di Yogyakarta, penelitian EDP terdiri dari tiga tahap, yaitu:

Tahap 1: Persiapan dan kelayakan penilaian keamanan (Oktober 2011 – September 2013)

Tahap 2: Penyebaran skala terbatas nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia (Oktober 2013 – Desember 2015)

Tahap 3: Penyebaran nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia pada skala luas (2016 – 2019)

Saat ini kegiatan EDP Yogya telah sampai pada tahap kedua akhir. Berdasar pantauan, penyebaran terbatas yang dilakukan di Dusun Kronggahan dan Nogotirto (Kab, Sleman), serta di Dusun Singosaren dan Jomblangan (Kab. Bantul) mengunjukkan hasil yang menggembirakan.

Jelang tahap ketiga, EDP Yogya tengah mempersiapkan pelepasan A. aegypti ber-Wolbachia skala luas di Kota Yogyakarta, Persiapan tersebut meliputi:

  1. Studi riwayat infeksi dengue (seroprevalensi dengue) pada anak-anak usia 1–10 tahun di Kota Yogyakarta
  2. Studi aktivitas harian (mobility study) anak-anak usia 1–10 tahun di Kota Yogyakarta
  3. Pemantauan populasi nyamuk Aedes aegypti di Kota Yogyakarta menggunakan perangkap nyamuk BGTrap
  4. Pemetaan situasi sosial kemasyarakatan di Kota Yogyakarta
  5. Mengajukan rencana kegiatan tahap ketiga untuk mendapat persetujuan dari Komisi Etik Kedokteran-Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM.

Setelah menyimak pemaparan tentang EDP di ruang diskusi, tidak lengkap bila tidak melihat kegiatan di insektarium EDP. Dipandu oleh Dr. Warsito, kami pun diajak berkeliling.

Pertama ke unit Field Entomology Laboratory. Di lab. ini dilakukan sortir dan identifikasi nyamuk dewasa yang telah tertangkap dalam BGTrap. Kru unit Field Entomology bertugas mencatat spesies nyamuk yang ada di wilayah penelitian. Pengumpulan data dilakukan per minggu untuk mendapat data populasi teraktual. Data yang terkumpul kemudian diunggah ke portal data yang terhubung ke seluruh peneliti EDP Yogya.

aktivitas di Field Entomology Lab. EDP Yogya
aktivitas di Field Entomology Lab. EDP Yogya

Setiap dua minggu sekali sampel nyamuk dari Field Entomology Lab dikirim untuk proses lebih lanjut di unit diagnostik FK UGM. Di sana dilakukan proses skrining PCR dan akan diperoleh frekuensi Wolbachia di daerah penelitian. Hingga saat ini frekuensi Wolbachia di daerah penelitian EDP Yogya rata-rata masih di atas 90%. Hal yang menggembirakan, bukan?

Selanjutnya, kami diajak ke tempat pembiakan larva Aedes aegypti ber-Wolbachia. Di ruangan tersebut kami mendapati ember-ember berisi air dan larva nyamuk yang asyik bergerak. Tidak tampak perbedaan antara nyamuk yang ber-Wolbachia dengan yang tanpa Wolbachia.

menyimak penjelasan Dr. Warsito sambil melihat tempat pemliharaan larva nyamuk
menyimak penjelasan Dr. Warsito sambil melihat tempat pemeliharaan larva nyamuk

Sambil melihat-lihat, kami mendapat penjelasan dari entomologist EDP Yogya, Dr. Warsito, tentang seluk beluk Aedes aegypti dan perkembangbiakannya, serta edukasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat terkait DBD.

Tujuan berikutnya adalah tempat pemberian makan nyamuk. Siang itu ada dua orang lelaki paruh baya yang sedang merelakan darahnya untuk diisap nyamuk betina. EDP memang membuka kesempatan untuk volunteer (baca: pendonor darah untuk nyamuk). Mengapa demikian? Karena untuk bertelur, nyamuk betina memerlukan darah dan kolesterol dari manusia. Saat ini EDP memiliki 53 orang volunteer, salah seorang di antaranya adalah pengusaha kaya asal Amerika Serikat, Bill Gates.

dua orang volunteer EDP Yogya sedang memberi makan nyamuk betina
dua orang volunteer EDP Yogya sedang memberi makan nyamuk betina

Tidak sembarang orang bisa menjadi volunteer untuk EDP. Ada aturan rinci dan ketat yang harus dilakukan sebelum dan selama menjadi volunteer. Salah satunya, orang tersebut harus sehat, tidak stres, dan bersih dari dengue atau chikunguya. Begitu terdapat gejala sakit setelah mendonorkan darahnya, si volunteer harus diperiksa dan baru boleh mendonorkan darahnya setelah 3 bulan.

Selain berkeliling insektarium, kami juga berkesempatan melihat telur nyamuk. Kecil sekali! Tapi, tenang, ada teknologi yang memudahkan sehingga telur-telur tersebut terlihat sangat jelas dan besar. Wow!

melihat telur nyamuk A. aegypti yang diperbesar
melihat telur nyamuk A. aegypti yang diperbesar

Setelah itu, kami berkumpul kembali ke ruang diskusi. Sebelum acara ditutup, ada pembagian goodie bag EDP Yogya. Ah, terima kasih, EDP.

goodie bag dari EDP Yogya
goodie bag dari EDP Yogya

Benar, hari itu saya pulang membawa satu lagi ilmu untuk dibagi. Hari itu saya makin tercerahkan, bahwa penelitian dilakukan bukan untuk mencari mana cara pengendalian paling TOP, melainkan untuk saling bersinergi. Satu hal lagi, saya akan selalu ingat apa yang disampaikan oleh Dr. Warsito,

“Nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia bukan satu-satunya cara untuk pengendalian dengue. Metode ini merupakan komplemen dari cara-cara yang telah ada. Kita wajib menjaga kesehatan, pola hidup sehat, makan seimbang, tak lupa juga PSN (pemberantasan sarang nyamuk).”

Ya, semoga proyek penelitian ini dapat terus dilanjutkan demi pengendalian dengue di dunia. Semoga kita pun makin tercerahkan, bahwa mengendalikan DBD bukan saja tanggung jawab satu atau dua orang, melainkan tanggung jawab kita bersama.

Catatan:
Tertarik dengan topik Aedes aegypti ber-Wolbachia?
Sahabat bisa datang ke kantor EDP Yogya, Jln. Podocarpus I, Sekip telp. 082220000385; menghubungi kru EDP di lapangan; atau mengakses website EDP: http://eliminatedengue.or.id/

 

11 thoughts on “Bicara Demam Berdarah Dengue dan Wolbachia Bersama EDP Yogya

  1. Aku beberapa kali ke Lab EDP yang di Radioputro hehhehehe, tapi lebih seringnya malah ngobrol sama yang ada di PAU UGM karena hanya beda lantai saja denganku. Pokoknya “Lawan Virusnya, bukan cuma Nyamuknya” 😀

  2. Semoga dengan adanya nyamuk berwolbachia ini bisa mengurangi demam berdarah secara signifikant. Amin 😀

  3. DBD ini penyakit yg terkesan sepele tapi berefek besar. karena dianggap sepele lingkungan ga terlalu diperhatikan padahal dampaknya bisa maut.

    Artikel yg bermanfaat mba. semoga makin banyak yg peduli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *