Sedari kecil Ibu tidak pernah mengajak saya pergi jalan-jalan ke mal. Yang ada, jalan-jalan ke pasar tradisional. Mungkin karena kami tinggal di pinggiran utara Jogja (sekitar 30 s.d. 45 menit perjalanan dari rumah ke pusat kota). Mal baru ada di pusat kota. Lagipula, Ibu saya itu orangnya suka ngirit. Daripada ongkos habis sebelum berbelanja, lebih baik pergi ke pasar yang lebih dekat jaraknya; lebih mudah aksesnya.
Saking seringnya saya diajak ke pasar, saya sampai hapal nama-nama pasar tradisional di sekitar kami tinggal. Pun rasanya akan sangat kurang jika lama tidak โpiknikโ ke pasar. Untuk hal yang satu itu, iya, piknik … seorang teman pernah menertawai saya, gara-gara dia dengar saya pergi refreshing ke pasar. Bisa jadi menurutnya, selera saya aneh. ๐ Hahaha. ๐
Baiklah, untuk postingan pertama โSaya Cinta Pasar Tradisionalโ ini, saya mulai dari yang paling dekat. Pasar Randualas namanya. Diberi nama demikian karena pasar ini terletak di bawah pohon randu alas (Bombax ceiba). Jangan dibayangkan seberapa ukuran pohonnya sampai bisa menaungi sebuah pasar, ya. Tinggi dan besar sekali, setidaknya untuk manusia bertubuh mungil macam saya. Mau lihat seperti apa pohon randu alas? Ini dia fotonya, saya ambil dari belakang pasar. ๐ย

Pasar yang terletak di sebelah timur kompleks pondok pesantren Sunan Pandanaran ini dulunya serupa pasar tiban dan hanya ramai di hari pasaran tertentu. Penjual yang menjajakan dagangan pun begitu saja menggelar lapak di bawah pohon. Seingat saya, saat saya duduk di Raudhatul Athfal (setingkat TK) Sunan Pandanaran di akhir tahun 80-an, sering sekali saya dibelikan buah sirsak oleh Ibu di pasar ini. Saya sampai hapal dengan simbah penjual sirsak dan ubi jalar langganan Ibu: Mbah Sarjan (alm.).
Kini pasar tersebut sudah jauh lebih baik keadaannya ketimbang 25 tahun lalu. Pun tidak lagi ramai hanya di hari pasaran, alias tiap hari buka. Secara resmi pasar ini dibangun secara permanen oleh pemerintah desa pada tahun 2000-an awal. Sesekali jika libur akhir pekan, saya juga berbelanja sayuran, buah, lauk, bumbu dapur di sini. Cukup jalan kaki 20 menit atau 10 menit naik sepeda motor, pergi-pulang.
Apa saja yang ada di pasar ini? Untuk kategori pasar kecil dengan dua larik los panjang, sudah cukup lengkap. Ada perkakas di bagian utara, lalu bumbu dapur di sebelah selatannya. Sayuran, lauk, penganan matang dan jajan pasar di tengah. Buah di bagian selatan. Di bagian barat ada jasa parut kelapa (sekaligus menjual kelapa parut), penjual daging ayam dan ikan. Di depan pasar ada penjual gudheg, jamu dan gorengan. Pasar ini ramai pada pagi hari sampai sebelum jam 12.00. Di atas jam itu biasanya para penjual sudah kukut (tutup).
Layaknya pasar tradisonal lain di Indonesia, yang masih menjadi permasalahan di pasar ini adalah sampah. Sampah plastik, terutama. Belum lagi kesadaran untuk mau memilah sampah yang masih rendah. Jadilah, sampah pasar yang statusnya complicated itu bercampur jadi satu. Kalau gado-gado atau karedok, sih, enak. Lha ini, sampah pasar, je! ๐ฅ Namun demikian, saya dengar sedang ada rencana pembangunan tempat pengolahan sampah di bagian utara pasar (dekat makam). Semoga rencana tersebut benar-benar terlaksana dan dengan pengelolaan yang baik, semoga sampah pasar kelak bukan lagi menjadi masalah. Aamiin.
Kmrn sy jg k pasar tradisional..murah2 n asik
Nah, asyik kan main ke pasar tradisional? ๐
Waktuku kecil emang gak ada mal heheee…. Tapi smp skrg aku suka ke pasar beli jajan. Udah tuapun suka jajan pasar tp bangsa jenang, jamu, bubur candil, grontol cenil, dll gitu. Jajan pasar yg roti2 dah mahal aja.
Ahihihi, pas aku kecil palingan Galeria yang terdekat dari rumah. Tapi ya gak pernah tuh masuk. (((MASUK aja gak pernah))) ๐
Aamiin, semoga pembangunan tempat sampah segera dimulai. Sampah ini sebenernya masalah berat, tapi masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat kita. Bahkan, oleh saya sendiri sepertinya ๐
Nanti kalau kapan-kapan saya ada rezeki ke Jogja lagi, anterin aku ke pasar ini ya, Mbak Phie? ๐
Masalah sampah di manapun di Indonesia sepertinya menjadi masalah penting sekarang ini, Mbak Naz. Kalau gak dipedulikan, gak baik juga buat generasi mendatang. ๐
Ngomong-ngomong, kapan ke Jogja lagi, Mbak? Silakan kontak saya, insyaAllah kalau pas dengan waktu saya, kita bisa jalan ke Pasar Randualas. ๐
Wah … sudah lama nih aku nggak berkunjung ke pasar tradisional.
Kalau bicara soal sampah di sana memang gimana ya, sulit memang karena kebiasaan dan juga dari sisi pemerintahannya juga. Kalau kubandingkan dengan di sini jadi ngenes aku, karena menyadari begitu jauh bedanya, dan mengerti pula bahwa untuk membuat program yang berhubungan dengan sampah ini butuh komitmen dan usaha keras dari semua pihak sebab membudayakan kebiasaan baru sama nggak gampangnya dengan menghilangkan kebudayaan lama, apalagi penduduk di tanah air ratusan juta begitu ๐
Begitulah, Mbak Ely. Menyedihkan. ๐
Apalagi kalau ngomong soal jumlah pengunjung pasar. Dulu dengan sekarang jauh berbeda. Kalau untuk pasar ini masih cukup ramai karena memang satu-satunya pasar terdekat dari rumah. Ada malah pasar besar yang di hari pasaran saja pengunjungnya bisa dihitung. Benar-benar kudu digalakkan gerakan cinta pasar tradisional ini.