Saya Cinta Pasar Tradisional: Picnic Time ke Pasar Pakem

Halo, Sahabat! Setelah beberapa hari lalu saya berkisah tentang Pasar Randualas, kini saatnya menyambung kisah tentang Pasar Pakem. Sebelumnya, saya pernah berkisah tentang pasar besar di Sleman utara ini di event #30HariKotakuBercerita. Penasaran? Silakan mampir di Pasar Pakem, Secuplik Kisah. Seperti yang pernah saya tulis di postingan tersebut, Pasar Pakem menggoreskan kenangan tersendiri bagi saya, termasuk saat dua pekan lalu saya menemani Ibu ber-picnic time ke pasar ini.

Hari itu 8 November 2015, Ahad Legi. Sejak Sabtu petang, Ibu sudah rasan-rasan ingin jalan ke pasar. Ingin beli ikan patin. Saya juga ingin membeli celana panjang, maklumlah salah satu celana buat ngantor sudah mulai berubah warna saking seringnya disetrika. πŸ˜›

Karena Pasar Pakem itu pasarannya lebih siang, kami berangkat sekira pk. 09.45 dari rumah. Tujuan pertama: lapak ikan. Letaknya di depan pintu masuk bagian selatan. Tapi, sayang sekali, patin terakhir dibeli oleh seseorang sebelum kami. Wah, gagal deh, acara makan patin! Hmm… sebagai ganti, akhirnya Ibu membeli ikan kembung. Mau beli lele? Ah, sudah sering. Hehehe. πŸ˜€

Setelah dibersihkan oleh si penjual, sekilo ikan kembung pun berpindah ke stoples besar yang kami bawa dari rumah. Iya, mengurangi penggunaan tas plastik juga, kan? πŸ˜‰Β 

Piknik pun dilanjut ke bagian tengah. Masih di area selatan. Di sebuah lapak pakaian, kami menemui Bulik Kamto, sekalian silaturahmi karena lama tidak berjumpa. Sambil Ibu ngobrol, saya mencoba-coba beberapa model celana yang disodorkan Bulik Kamto. Asyiknya, satu celana pas di hati dan masuk ke tas belanjaan. Celana baru, alhamdulillah… *nyanyi* πŸ˜†

Dari lapak pakaian, kami menuju ke utara. Ke mana? Ke bagian favorit kami: jamu dan rempah-rempah. Dalam perjalanan menyusuri lorong, sederetan penjual menjajakan dagangannya. Kami sempat berhenti karena dua orang penjual tembakau rajangan yang sudah sepuh menyapa Ibu.

β€œNak, pripun kabare?” kata salah seorang dari beliau sambil mengulurkan tangan.

(Nak, bagaimana kabarnya?)

β€œEh…, Alhamdulillah, sae, Bu. Kados pundi, sehat-sehat ta, nggih?” sambut Ibu sambil tersenyum.

(Eh…, Alhamdulillah, baik, Bu. Bagaimana, sehat-sehat kan, ya?)

Meski tidak kenal, saya yang sedari tadi nginthil di belakang Ibu, turut bersalaman dengan kedua simbah putri ini. Dalam aturan tak tertulis di keseharian kami, inilah yang semestinya dilakukan seorang anak kepada kolega orangtuanya. Catet! πŸ˜‰

Usai saling sapa singkat itu, kami langsung pamit dan menuju ke penjual jamu langganan yang berada beberapa lapak di sebelahnya. Ini dia!

mampir ke tempat favorit kami: penjual jamu :D
mampir ke tempat favorit kami: penjual jamu πŸ˜€

Ibu memesan segelas beras kencur, diminum di tempat. Dua gelas kunir asem dibungkus, untuk Ning dan saya. Kenapa gak diminum sekalian di tempat? Karena saya sebelum berangkat dalam pengaruh obat. Biar saja saya beri jeda.

Fyi, dulu kios jamu ini dikelola oleh ibu dari penjual yang sekarang. … dan dari percakapan kami, akhirnya saya tahu, rupanya si mbak penjual jamu adalah teman kuliah mbak Lilis, tetangga kami. Usianya sekira 35-an tahun. Walah, dunia memang sempit. Hehehe.

Dari kios jamu, kami menuju penjual sembako. Kami membeli Β½ kg kacang hijau dan ΒΌ kg kacang tholo. Kacang hijaunya sebagian sudah menjadi kecambah, eh, maksud saya Homemade ‘Thokolan’.

Sebelum pulang, kami mampir dulu ke sudut utara pasar, ke kios para kemasan (pembuat/penjual emas). Kebiasaan ya, Ibu suka lihat-lihat perhiasan.

β€œLihat-lihat dulu, sambil mantau harga pasaran emas,” begitu kata Ibu.

Survei nih, yee! πŸ˜†

Terakhir, mampir ke lapak buah karena cadangan buah untuk sarapan sudah menipis. Setelahnya, kami benar-benar pulang ke rumah. Hehehe. πŸ˜€

Tahukah, Sahabat? Percakapan sekadar basa-basi seperti yang saya kutipkan di atas, itulah yang ngangeni (bikin kangen) dan membuat acara piknik ke pasar tradisional menjadi pilihan Ibu (hingga akhirnya kebiasaan ini turun juga ke saya).

Dibanding dengan di pasar swalayan atau mal, sisi humanis lebih terlihat saat berbelanja di pasar tradisional. Pembeli-penjual lebih bisa berinteraksi, layaknya kodrat manusia: saling mengenal satu sama lain. Bahkan, tidak jarang ada kisah berwarna yang bisa ditulis karena singgah di pasar tradisional.

Ya, ini kisah saya ber-picnic time bersama Ibu di Pasar Pakem; bagaimana dengan Sahabat? Punya juga kisah gembira di pasar? πŸ˜‰

0 thoughts on “Saya Cinta Pasar Tradisional: Picnic Time ke Pasar Pakem

  1. Sampai sekarang, terakhir beberapa bulan lalu waktu pulang ke rumah, aku ikut Mama ke pasar. Padahal dari kecil sering diajak Mama, tapi aku selalu buta sama arah di pasar karena ramenya ampun-ampunan. Bahkan aku masih tetep dongdong juga buat milih buah di pasar. Entah sampai kapan Mama sabar ngajarin aku cara belanja di tempat ramai macam pasar. Duh.

  2. Yah… Beberapa kali menemukan kejadian serupa krn selain pasar tradisional, rumahku dekat pasar. Keruan saja ada tetangga yg jualan & menyapa krn aku sudah pindah. πŸ˜‰

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *